Sejarah merupakan cermin bagi
ummat manusia untuk belajar membuat keputusan yang terbaik berdasarkan kejadian
masa lalu. Dari sejarahlah kita belajar untuk tidak mengulangi
kesalahan-kesalahan yang sama.
Firman Allah dalam al-Qur’an
surat alBaqrah ayat 164 yang artinya . . . Sungguh (terdapat) tanda-tanda
(keesaan dan kebesaran Allah ) bagi kaum yang memikirkan
Dan banyak lagi ayat-ayat alQur’an
yang mengingatkan manusia agar menggunakan fikiran, mata, telingan dan indera
lainnya untuk belajar dari masa lalu dari perbuatan-perbuatan manusia yang baik
dan yang buruk .
Dalam hadis nabi disebutkan diriwayatkan
dari Abu Hurairah r.a, dari Nabi saw. beliau bersabda, "Seorang mukmin tidak akan terkena sengatan dua kali dalam
satu lubang," (HR Bukhari [6133] dan Muslim [2998]).
Belajar dari pengalaman umat
Islam mengikuti demokrasi di masa lalu kita sudah dapat menetapkan sikap kita.
Demokrasi diambil dari bahasa
Latin, demos yang
berarti rakyat dan kratos yang
berarti hukum atau kekuasaan. Jadi demokrasi adalah hukum dan
kekuasaan rakyat, dan dibahasakan dalam Undang Undang Dasar RI dengan
“Kedaulatan berada di tangan rakyat”.
Demokrasi
memiliki beberapa ajaran, di antaranya:
·
Sumber hukum bukan Allah Subhaanahu
Wa Ta’ala, akan tetapi rakyat
·
Hukum yang dipakai bukanlah hukum
Allah, akan tetapi hukum buatan
·
Memberikan kebebasan berkeyakinan
dan mengeluarkan fikiran dan pendapat
·
Kebenaran adalah suara terbanyak
·
Tuhannya banyak dan beraneka ragam
·
Persamaan hak
Ajaran-ajaran
demokrasi atau dien (agama) demokrasi ini semuanya kontradiktif dengan
dien kaum muslimin, Al Islam. Sebagian manusia merasa aneh saat kami menyebut
demokrasi sebagai dien padahal Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengatakan: “Tidaklah
patut Yusuf menghukum saudaranya menurut undang-undang raja (dien al
malik)…” (QS. Yusuf [12]: 76)
Undang-undang
telah Allah Subhaanahu Wa Ta’ala namakan sebagai dien
(agama/jalan hidup yang ditempuh), sedangkan demokrasi itu memilliki
undang-undang selain Islam. Jadi dien (agama) kafir itu bukan hanya Nashrani,
Yahudi, Hindu, Budha, Konghucu, Shinto, dan Majusi saja… akan tetapi
Demokrasi
adalah dien, Nasionalisme adalah dien, Kapitalisme adalah dien, Sekulerisme
adalah dien. Sedangkan Islam adalah dien kaum muslimin, sedangkan Demokrasi
adalah dien kaum musyrikin, baik kaum musyrikin yang mengaku Islam
atau yang mengaku bukan Islam.
Di
Indonesia sendiri keikutsertaan beberapa kelompok islam dalam demokrasi bukan
hal baru terjadi dimasa-masa reformasi ini saja. Pada tahun 1955 di Indonesia
telah lahir partai Masyumi sebagai wakil umat Islam pada masa itu yang dipimpin
oleh Mohammad Nasir. Kita pun melihat betapa terseok-seoknya Masyumi hingga
akhirnya dibubarkan oleh Soekarno tanpa mendapatkan hasil-hasil apapun dari
demokrasi alias sia-sia.
Dari
pengalaman umat Islam di berbagai Negara kita bisa melihat contohnya di
Aljzair, Turki, Palestina, dan baru-baru ini Mesir. Tidak ada satupun yang
berdaulat menentukan keyakinannya melainkan ia harus tunduk dengan
peraturan-peraturan yang telah disepakati bersama dalam berdemokrasi. Bahkan
yang sangat menyedikan di Aljazair, dan Palestina partai “Islam” yang berhasil
memperoleh suara mayoritas dalam pemilu harus tersingkir dan menikmati penderitaan dari
musuh-musuhnya yang tak menginginkan umat Islam memenangkan Pemilu. Selamanya
musuh-musuh Islam tak akan rela umat
Islam menguasai demokrasi karena demokrasi adalah agama ciptaan mereka.
Merakalah yang berhak mengatur segalanya. Umat Islam yang telah terlanjur
menganut agama demokrasipun tak akan mendapat pertolongan dari Allah karena Allah
hanya meridhoi agam Islam sebagai din manusia di muka bumi ini.
Dari
pengalaman-pengalaman tersebut hendaknya kita lebih banyak belajar dan berfikir
agar tidak terperosok ke lembah kesesatan dan kecelakaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar