Sabtu, 11 Agustus 2012

Berkaca pada masa lalu


Sejarah merupakan cermin bagi ummat manusia untuk belajar membuat keputusan yang terbaik berdasarkan kejadian masa lalu. Dari sejarahlah kita belajar untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahan yang sama.

Firman Allah dalam al-Qur’an surat alBaqrah ayat 164 yang artinya . . . Sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah ) bagi kaum yang memikirkan

Dan banyak lagi ayat-ayat alQur’an yang mengingatkan manusia agar menggunakan fikiran, mata, telingan dan indera lainnya untuk belajar dari masa lalu dari perbuatan-perbuatan manusia yang baik dan yang buruk .

Dalam hadis nabi disebutkan diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a, dari Nabi saw. beliau bersabda, "Seorang mukmin tidak akan terkena sengatan dua kali dalam satu lubang," (HR Bukhari [6133] dan Muslim [2998]).

Belajar dari pengalaman umat Islam mengikuti demokrasi di masa lalu kita sudah dapat menetapkan sikap kita.

Demokrasi diambil dari bahasa Latin, demos yang berarti rakyat dan kratos yang berarti hukum atau kekuasaan. Jadi demokrasi adalah hukum dan kekuasaan rakyat, dan dibahasakan dalam Undang Undang Dasar RI dengan “Kedaulatan berada di tangan rakyat”.

Demokrasi memiliki beberapa ajaran, di antaranya:
·         Sumber hukum bukan Allah Subhaanahu Wa Ta’ala, akan tetapi rakyat
·         Hukum yang dipakai bukanlah hukum Allah, akan tetapi hukum buatan
·         Memberikan kebebasan berkeyakinan dan mengeluarkan fikiran dan pendapat
·         Kebenaran adalah suara terbanyak
·         Tuhannya banyak dan beraneka ragam
·         Persamaan hak

Ajaran-ajaran demokrasi atau dien (agama) demokrasi ini semuanya kontradiktif dengan dien kaum muslimin, Al Islam. Sebagian manusia merasa aneh saat kami menyebut demokrasi sebagai dien padahal Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengatakan: “Tidaklah patut Yusuf menghukum saudaranya menurut undang-undang raja (dien al malik)…” (QS. Yusuf [12]: 76)

Undang-undang telah Allah Subhaanahu Wa Ta’ala namakan sebagai dien (agama/jalan hidup yang ditempuh), sedangkan demokrasi itu memilliki undang-undang selain Islam. Jadi dien (agama) kafir itu bukan hanya Nashrani, Yahudi, Hindu, Budha, Konghucu, Shinto, dan Majusi saja… akan tetapi 

Demokrasi adalah dien, Nasionalisme adalah dien, Kapitalisme adalah dien, Sekulerisme adalah dien. Sedangkan Islam adalah dien kaum muslimin, sedangkan Demokrasi adalah dien kaum musyrikin, baik kaum musyrikin yang mengaku Islam atau yang mengaku bukan Islam.

Di Indonesia sendiri keikutsertaan beberapa kelompok islam dalam demokrasi bukan hal baru terjadi dimasa-masa reformasi ini saja. Pada tahun 1955 di Indonesia telah lahir partai Masyumi sebagai wakil umat Islam pada masa itu yang dipimpin oleh Mohammad Nasir. Kita pun melihat betapa terseok-seoknya Masyumi hingga akhirnya dibubarkan oleh Soekarno tanpa mendapatkan hasil-hasil apapun dari demokrasi alias sia-sia.

Dari pengalaman umat Islam di berbagai Negara kita bisa melihat contohnya di Aljzair, Turki, Palestina, dan baru-baru ini Mesir. Tidak ada satupun yang berdaulat menentukan keyakinannya melainkan ia harus tunduk dengan peraturan-peraturan yang telah disepakati bersama dalam berdemokrasi. Bahkan yang sangat menyedikan di Aljazair, dan Palestina partai “Islam” yang berhasil memperoleh suara mayoritas dalam pemilu harus tersingkir dan menikmati penderitaan dari musuh-musuhnya yang tak menginginkan umat Islam memenangkan Pemilu. Selamanya musuh-musuh Islam  tak akan rela umat Islam menguasai demokrasi karena demokrasi adalah agama ciptaan mereka. Merakalah yang berhak mengatur segalanya. Umat Islam yang telah terlanjur menganut agama demokrasipun tak akan mendapat pertolongan dari Allah karena Allah hanya meridhoi agam Islam sebagai din manusia di muka bumi ini.

Dari pengalaman-pengalaman tersebut hendaknya kita lebih banyak belajar dan berfikir agar tidak terperosok ke lembah kesesatan dan kecelakaan.